Jumat, 10 April 2015

MAKALAH ISLAM DI INDONESIA

Tidak ada komentar:

BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu cara untuk mengamati perilaku Islam di dunia adalah dengan bercermin pada Islam di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Islam di Indonesia telah memperlihatkan suatu ciri khas tertentu, yang mungkin berbeda dari tempat asal Islam itu sendiri, Mekkah.
Sebagai agama rahmatan lil alamin, Islam telah membuktikan kebenarannya. Kebenaran Islam telah terbukti di berbagai belahan dunia. Setidaknya itulah hasil perjuangan Rasulullah SAW yang menyebarkan Islam mati-matian sampai-sampai harus menghadapi berbagai cobaan yang datang silih berganti. Ketika beliau masih hidup, setidaknya, beliau telah melihat orang secara berbondong-bondong masuk Islam pada masa Fathu Mekah. Jauh setelah itu, Islam kini berada di setiap jengkal negeri di seluruh dunia.
Di Indonesia Islam merupakan agama resmi dan menjadi mayoritas. Oleh karena itu, umat Islam perlu bangga akan tingginya umat Islam di indonesia. Mengapa Islam di Indonesia dapat menjadi besar dan terhormat? Itu tidak terlepas dari usaha para pendahulu kita yang dengan tekun dan gigih menyebarkan dan mempertahankan Islam di Indonesia.
Mereka tidak hanya menyebarluaskan pesan Islam, tetapi juga mempertahankan agar pesan ini tidak punah.
Pada makalah ini, kita akan mempelajari tentang Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Pada tahun 30 H/651M, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran.  Pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
B.    Perkembangan Islam di Indonesia
1.    Babak Pertama, Abad 7 Masehi (Abad 1 Hijriah)
Pada abad 7 M, islam sudah sampai ke Nusantara. Para da’i yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni jalur sutera (jakur perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sampainya dakwah di Indonesia yakni melalui para pelaut dan pedagang yang membawa dagangannya dan juga membawa akhlak islami dan sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang islami.
Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas Muslim yang berada di daerah-daerah pesisir yang terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
2.    Babak Kedua, Abad 13 Masehi
Pada abad ini berdiri kerajaan-kerajaan Islam di berbagai penjuru Nusantara. Pada abad 13 Masehi ada fenomena yang disebut Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan proses Islamisasinya melalui berbagai cara dan saluran, antara lain:
a.    Perdagangan
b.    Pernikahan
c.    Pendidikan (pesantren)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya Indonesia, dan juga adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran islam.
d.    Seni dan Budaya
Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan mewarnai wayang tersebut dengan nilai-nilai Islam. Para wali juga mengubah lagu-lagu tradisional dalam langgam islami. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.
e.    Tasawuf
Ajaran tasawuf pada dasarnya mirip dengan ajaran Hindu, yaitu praktek Islam yang mengedepankan kehidupan yang sederhana dan banyak mendekatkan diri pada sang Khalik. Dengan ini, Islam dengan mudah dapat diterima karena memiliki keserupaan dengan alam pikiran penduduk pribumi yang sudah memiliki latar belakang agama nenek moyang mereka.
3.    Babak Ketiga, Masa Penjajahan Belanda
Pada abad 17 Masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda ke Indonesia dengan kamar dagangnya VOC, semenjak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dijajah oleh Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Pada masa itu, ketika penjajahan datang, pesantren-pesantren diubah menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri menjadi jundullah (pasukan Allah SWT) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Ulama-ulama menggelorakan jihad melawan Belanda.
4.    Babak Keempat, Abad 20 Masehi
Awal abad 20 masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya hanya membawa manfaat bagi lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebsenarnya bertujuan untuk mensosialkan ilmu-ilmu Barat yang jauh dari Al Quran dan Hadits dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin dipegang lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikan tidak seluruh masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu pemimpin-pemimpin pergerakan adalah dari golonhan bangsawan. Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih bersifat organisasi formal daripada dengan senjata.
5.    Babak Kelima, Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan islam dengan sendirinya mengalami pergeseran. Dakwah Islam di Indonesia banyak dikembangkan oleh institusi-institusi seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, dan lain-lain. Hingga sekarang dakwah Islam lebih banyak dimainkan oleh organisasi-organisasi Islam ini, terutama Muhammadiyah dan NU.
Pada masa ini juga berlangsung “pemurnian Islam” yang merupakan pengaruh dari perkembangan pemurnian Islam di Timur Tengah. Jadi pengertian Islamisasi pada ranah ini adalah usaha untuk “mengislamkan” orang Islam. Maksudnya membersihkan umat Islam dari unsur-unsur keyakinan lama yang tidak ada kaitannya dan bahkan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, berupa bid’ah, khufarat, dan tahayul.
Usaha Muhammadiyah untuk melakukan pemurnian agama sebagian mendapat tantangan dari NU. Ini disebabkan karena beberapa praktek NU, seperti tahlilan, talqin. Dan mengazani orang mati dianggap bid’ah (mengada-ada) oleh Muhammadiyah. Sampai sekarang perbedaan pendapat masih ada. Namun, sekarang ini masing-masing pihak sudah dapat menerima satu dengan yang lainnya.
Di era reformasi, kekuatan-kekuatan Islam yang baru bermunculan. Ini disebabkan karena beberapa hal:
1.    Adanya kebebasan mengemukakan pendapat pendapat di muka umum.
2.    Jalur pendidikan Islam di luar negeri, baik di Timur Tengah maupun negeri-negeri Barat.
3.    Krisis ekonomi yang berdampak pada krisis-krisis lain baik dibidang sosial, pendidikan, maupun agama.
Perkembangan model-model pemahaman Islam tersebut dengan sendirinya menambah keragaman Islam di Indonesia. Tampaknya Islam yang dapat diterima di Indonesia sudah pasti adalah Islam yang dapat berdamai dengan Negara. Sejauh ini, Muhammadiyah dan NU tetap konsisten pada semangat ini.
Pada babak ini proses dakwah di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi dengan gerakan-gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses dakwah di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awal masuknya Islam yg secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat.
Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yangg perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian, Allah Subhanahu wa ta’ala mentakdirkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
C.    Karakteristik Islam di Indonesia
1.    Majemuk / Plural
Kemajemukan merupakan ciri khas masyarakat Indonesia pada umumnya. Keragaman model-model beragama dapat ditemukan di dalam Islam. Seorang antropolog Amerika Serikat bernama Clifford Geertz pernah membagi perilaku keberagaman umat Islam Indonesia ke dalam tiga kelompok, yaitu abangan, santri dan priyai.
Abangan merupakan turunan dari kata abang (Jawa: merah). Istilah abangan dipakai bagi pemeluk Islam yang tidak begitu memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agamanya.
Santri merupakan penganut islam yang taat. Istilah ini seringkali kita dengar untuk menyebut orang-orang yang belajar di pesantren.
Priyai adalah kelompok ketiga penganut Islam, yang menurut Greetz adalah kelompok Islam kelas elit. Biasanya adalah mereka yang disebut sebagai Muslim birokrat atau Muslim berdasi.
2.    Toleran
Toleransi adalah salah satu semangat dari Islam. Semangat ini tumbuh seiring dengan “perkawinan” antara budaya Islam dan budaya lokal. Sehingga corak singkretisme (campuran faham) tidak  isa dihindarkan.
Sifat toleransi Muslim Indonesia muncul karena bangsa Indonesia disatukan dalam rumpun budaya. Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan ragam budaya dan agama sejak mula kedatangannya.
3.    Moderat
Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat. Moderat dalam hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan keagamaan yang berada di tengah-tengah, tidak ekstrim dan tidak liberal. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini, iini berarti bahwa religiusitas bangsa Indonesia adalah cerminan religiusitas umat Islam itu sendiri. Islam indonesia merupakanagama yang melindungi kehidupan agama dan kepercayaan lain. Agama dan kepercayaan lain dapat hidup aman dan damai di tengah-tengah mayoritas umat Islam. Hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan umat Islam di beberapa negara yang hidup mayoritas di tengah-tengah  mayoritas agama lain.
4.    Singkretik
Singkretisme juga bisa dikatakan merupakan akibat dari akulturasi Islam dan budaya lokal. Makna singkretik di sini maksudnya adalah adanya campuran unsur Islam dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan semangat fundamental Islam itu sendiri.
Singkretisme Islam dan budaya lokal inilah yang melahirkan Islam dalam bentuknya sekarang. Sebagai contoh, tradisi menggunakan peci hitam sebenarnya adalah tradisi orang-orang Turki yang kemudian menjadi pakaian orang Indonesia, terutama oleh orang-orang Islam. Demikian pula dalam ritual-ritual Islam, unsur-unsur budaya lokal masih sangat jelas, termasuk pada sebagian bangunan masjid. Jadi meskipun berasal dari Timur Tengah, tampilan Islam di Indonesia tidak selalu bernuansa Arab.
D.    Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur
1.    Di Bidang Politik dan Ekonomi
Sejak awal kedatangannya, sebenarnya umat Islam sudah mulai memainkan peran politik mereka. Sultan atau raja adalah penguasa sekaligus pengembang Islam. Sultan atau Raja mengadakaan konsultasi dengan para ulama dalam setiap kebijakan yang hendak dijalankan, sebagaimana terlihat misalnya pada Raden Fatah, raja Kesultanan Demak yang selalu menghargai petunjuk Wali Songo.
Pada sisi lain dapat dilihat bahwa semenjak abad ke-16 sampai abad ke-20 umat Islam di bawah para pemimpinnya menghadapi berbagai corak tantangan kekuasaan Barat dan mengadakan perlawanan bagi setiap fase penjajahan, misalnya pada:
a.    Fase persaingan dagang
b.    Fase penetrasi
c.    Fase perluasan daerah jajahan
d.    Fase penindasan
Ajaran Islam untuk cinta tanah air mendorong segenap penduduk Nusantara untuk memberontak melawan penjajah. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin Islam yang demikian besar yang menentukan arah pergerakan di Indonesia..
Sejak itu peran umat Islam dalam dunia politik semakin jelas. Dalam Panitia Persiapaan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) para ulama dan pemimpin Islam berperan aktif dalam menyusun dasar kehidupan negara, dan ikut serta merumuskan UUD 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peran unat Islam tetap besar di bawah Soekarno. Meskipun ia berhaluan nasionalis-sosialis, tetapi pandangan-pandangan agamnya menjadi ilham bagi pembangunan bangsa. Hingga masa reformasi umat Islam tetap menunjukkan sikap politik yang luar biasa. Setelah berhasil menjalankan pemilu 1999, 2004, dan 2009, dunia Internasional semakin kagum bahwa masyarakat Islam di Indonesia adalah yang paling berhasil menjalankan demokrasi.
2.    Di Bidang Agama dan Sosial
Agama dan sosial adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Ini disebabkan karena sejak kedatangannya di Nusantara, Islam telah berpadu dengan masyarakat yang kemudian membentuk sebuah masyarakat Muslim Indonesia.
Sebagai bangsa yang religius dan berketuhanan Yang Maha Esa, pemerintah memiliki perhatian besar tehadap agama, terutama agama Islam yang penganutnya adalah mayoritas. Perhatian tersebut diwujudkan dalam pembinaan kehidupan beragama, antara lain:
a.    Mendirikan Departemen Agama pada tanggal 3 januari 1945.
b.    Menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c.    Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dari tanah air.
d.    Membentuk MUI pada tahun 1975 dengan struktur organisasi yang menyebar sampai ke tingkat desa.
e.    Melembagakan MTQ secara nasional dari tingkat pusat sampai tingkat desa, mendirikan dan meresmikan mesjid Istiqlal sebagai masjid yang sepenuhnya dibiayai pemerintah, membentuk Badan Amil Zakat dan sebagainya.
3.    Di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Di bidang pendidikan dan kebudayaan, peran Islam sangatlah besar. Sejak Islamisasi negeri ini telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan surau yang telah menjadi benteng Islam yang demikian kuat dan berpengaruh. Pemerintah telah mendirikan madrasah dari tingkat dasar, menengah hingga tingkat atas.
Lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah berdiri sejak 1940. Kemudian berdiri pula lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola negara dan swasta di seluruh Indonesia, seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTIAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), Universitas Islam Indonesia (UII), dll.
Dalam bidang kebudayaan di Indonesia, Islam mempunyai peranan penting, antara lain di bidang:
a.    Arsitektur, khususnya pada bangunan mesjid.
b.    Hidup rohani, paham sufismi atau mistik yang tumbuh pada hidup rohani orang Indonesia sejak awlnya masuknya Islam di Indonesia, seperti Kadiriah, Khalwatiah, Naksyabandiah, dan sebagainya.
c.    Hari-hari besar Islam.
d.    Seni kaligrafi
e.    Bahasa Indonesia, yang menyerap sebagian bahasa Al Quran (Arab) ke dalam bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia sehingga bahasa Arab itu terabadikan dalam bahasa Indonesia, seperti pada kata rakyat (ra’iyyah). Musyawarah, shalat, zakat, dan sebagainya.
E.    Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Akhir-akhir ini muncul kekhawatiran di tengah-tengah umat Islam khusunya dan bangsa Indonesia pada umumnya, mualii pudarnya nilai-nila Pancasila di tengah-tengah anak bangsa ini, hal ini dapat dilihat dalam beberapa gambaran, seperti munculnya radikalisme di tengah-tengah masyarakat.
Di era reformasi yang ditandai dengan kebebasan di segala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif  dan radikal. Ironisnya, perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti pancasila sebagai dasar negara Indonesia, meski melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multidimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik.
Ada dua aliran yang muncul yakni golongan  Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai sebagai negara Islam dan golongan nasionalis, yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga kelad dua.
Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Soekarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan. Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme.
Pada tanggal 17 agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun, “duri dalam daging” dalam UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota  BPUPKI. Duri dalam daging yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Sehingga setelah melakukan konsultasi, sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Saat ini, kekuatan-kekuatan politik dan sosial kemasyarakatan umat Islam Indonesia sampai pada kesimpulan menerima Pancasila dan pilar bangsa yang lain sebagai penerimaan yang final. Sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat di pertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Umat Islam Indonesia sebagai penduduk mayoritas, secara langsung maupun tidak langsung menjadi gambaran dari Indonesia.
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai dasar negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para founding fathers kita telah berkorban  dan secara bijaksana mencari titik temu tentang ideologi yang disepakati bersama. Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan tentu saja nilai-nilai dasar Pancasila yang seperti di atas tidak bertentangan dan dibenarkan di dalam ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam di Indonesia pada umumnya berada di jalan tengah, tidak mendukung radikalisme dan tidak pula setuju dengan liberalisme. Islam inilah yang sering di gambarkan sebagai Islam moderat. Islam yang insyaallah menjadi harapan dan cita-cita semua bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
•    Islam lahir dan dikembangkan di Indonesia di bawa oleh para wali songo.
•    Perkembangan Islam di Indonesia melalui proses babakan yang sangat panjang, mulai dari sebelum Indonesia merdeka hingga pasca kemerdekaan Indonesia.
•    Model-model pemahaman Islam di Indonesia menambah keragaman Islam di Indonesia, seperti organisasi-organisasi Islam yaitu NU, Muhammadiyah, Persis dll.
•    Karakteristik Islam di Indonesia  yaitu, Majemuk/plural, toleran, moderat dan singkretik.
•    Umat Islam berperan dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur  baik dari masa penjajahan hingga masa pembangunan.
B.    Saran
Penulis menyadari  bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, agar penulis dapat memperbaiki pembuatan makalah di waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jazirahislam.com/158/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.htm
http://omarblega.wordpress.com/2010/06/17/sejarah-masuknya-islam-di-di-indonesia/
Suroso, Asih, dkk, Modul Siswa: Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII Semester 1, Surakarta, PT Widya Duta Grafika
Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2011, Pendidikan Agama Islam: Buku Daras untuk Mahasiswa Universitas Jambi, Jambi, Gaung Persada Press.

14JAN
Sumber : ferarita.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar